My Shine
“Fashion In
Heaven”
( Created by Cahyanthi Miniari )
Cast:
-
Hana, a beautiful, smart, friendly and moody girl (
Main cast )
-
Sinha, simple,
patient and handsome person ( Hana’s boyfriend )
-
Rian, humorous
girl, easy going and friendly ( Hana’s bestfriend )
“Seperti biasa, kau terlambat lagi Hana..” ucap pria itu ketika
aku menghampirinya.
“Maafkan aku Sinha…” ucapku singkat
“Sudahlah, ayo cepat! Kita bisa terlambat nanti…” ucap Sinha
sambil menarik tanganku.
Kami berdua berlari menyusuri jalanan kecil di tengah-tengah
kerumunan orang-orang.
***
“Seberapa beruntungnya kita hari ini…” ucap Sinha
Aku pun sangat merasa bersalah kepada Sinha. Aku pun hanya
menundukkan kepalaku dan duduk terdiam di samping Sinha.
“Ya.. Kau kenapa Hana?” tanya Sinha
“Ahh, tidak..” ucapku singkat.
“Jangan memasang wajah seperti itu. Sebentar lagi
pertunjukkannya akan dimulai. Bersiaplah…”
Aku pun hanya menganggukkan kepalaku.
“Hmm.. Sinha.. Aku minta~”
“Sstt.. diamlah… pertunjukkannya sudah dimulai…”
Belum sempat aku mengatakan maaf, tapi dia melah menyuruhku diam
dan tetap menonton pertunjukkan itu. Memang, ini merupakan pertunjukkan yang
sangat ditunggu-tunggu oleh Sinha. Jadi, wajar saja apabila ia bersikap seperti
ini.
***
“Bagaimana Hana? Apakah kau menikmati pertunjukkan tadi?”
“Hmm, iya… aku sangat menyukainya…”
“Baguslah, aku pikir kau tidak nyaman dengan pertunjukkan tadi…”
“Sinha……”
“Ne? Ada apa? Apa ada yang ingin kau bicarakan?”
“Aku minta maaf atas kejadian tadi. Aku sungguh-sungguh tidak
bermaksud untuk mengacaukannya…”
“Apa yang sedang kau bicarakan? Kau memang salah. Untung saja
kita tidak terlambat tadi…” ucap Sinha sedikit bercanda.
“Aku benar-benar minta maaf, Sinha…”
“Sudahlah, lagi pula tadi kita tidak terlambat kan? Hmm, apa kau
mau mampir sebentar ke kedai di dekat sini? Aku sedikit haus.”
“Boleh…”
Aku dan Sinha telah menjadi sepasang kekasih selama 3 tahun. Ya,
kami telah saling mengenal sejak kami mengenyam pendidikan di bangku sekolah
menengah pertama. Aku dan Sinha sama-sama menyukai fashion dan kami berdua
mempunyai cita-cita untuk menjadi fashion designer. Itulah sebabnya mengapa
kami mengambil jurusan yang sama di universitas.
***
“Hana, apakah kah sibuk hari ini? Jika tidak,
tolong temui aku di tempat biasa jam 3 sore nanti. Aku mohon, tolong datang…”
Begitulah pesan yang ku terima dari Sinha. Aku heran, tidak
biasanya ia seperti ini.
Tepat pukul 3 aku sampai di tempat yang dia minta. Di sana, aku
pun melihat Sinha yang sedang duduk di sebuah bangku taman.
“Ya… Sinha…”
“Hana…” ucapnya sambil bangun dari tempat duduknya.
“Ya… Sinha… Ada apa? Tidak biasanya kau menyuruhku datang ke
sini. Apa ada yang ingin kau bicarakan?” ucapku penasaran.
“Duduklah Hana…”
Aku sangat terkejut ketika mendengarkan perkataannya.
“Bo? Paris? Kau akan pergi ke Paris? Berapa lama?”
“Entahlah, mungkin lebih dari 5 tahun…”
“Ya… Sinha… apa kau gila? 5 tahun? Kau pikir 5 tahun itu tidak
lama?”
“Tenaglah, Hana… ini tidak seperti yang pikirkan. Aku pergi ke
Paris karena ayahku ingin agar aku mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Dan,
ayahku juga menyuruhku untuk berhenti menjadi fashion designer…”
“A-apa!? Berhenti menjadi
fashion designer?”
Aku pun seketika menangis. Mengapa aku dan Sinha harus mengalami
hal yang sesulit ini?
“Ya… Hana… Jangan menangis… Aku pasti akan baik-baik saja”
ucapnya seraya mendekap tubuhku.
“Kau tidak usah khawatir. Aku berjanji, aku akan baik-baik saja
di sana… Percayalah padaku Hana… Aku tidak akan mengecewakanmu…”
“Ta-tapi Sinha, aku tidak ingin kau pergi… aku sungguh tidak
ingin…”
Sinha pun ikut menangis…
“Sebenarnya, aku juga tidak ingin berpisah denganm, Hana… tapi
ini keinginan orang tuaku, aku tidak bisa menolaknya.”
***
Hari ini adalah hari keberangkatan Sinha ke Paris. Aku masih
belum bisa melepaskan Sinha begitu saja. Berpisah dalam waktu yang cukup lama,
sungguh aku tidak siap. Aku tidak siap bila tidak ada Sinha yang menemaniku.
Hanya Sinha yang paling mengerti diriku.
“Hana… semoga kau ingat sekarang adalah hari
keberangkatanku. Bisakah kau meluangkan waktumu untuk mengantarkanku? Aku
sangat berharap kau bisa… Aku akan berangkat pukul 4 sore… Tolonglah Hana…
Tolong datang, aku sangat mengharapkan kedatanganmu…”
Lagi-lagi aku dibuat menangis oleh pesan yang dikirimkan Sinha.
***
Akhirnya, aku tiba di bandara sesuai permintaan Sinha. Awalnya
aku enggan untuk menemuinya, namun di satu sisi aku tiak ingin mengecewakan Sinha.
Aku pun berjalan ke dalam bandara. Aku hanya berjalan dengan sedikit
menundukkan kepala tanpa tau arah. Saat aku menaikkan kepalaku, ku pun
menyadari bahwa aku sudah berada di depan Sinha.
Ia tersenyum kepadaku. Ya, Sinha tersenyum kepadaku.
“Hay Hana… Aku kira kau tidak akan datang.” Ucapnya polos.
Aku hanya diam mendengar perkataannya. Entah bagaimana aku harus
mengekspresikan perasaanku saat itu. Sungguh, aku benar-benar tidak tau.
Sinha pun mengacak-acak rambutku dan mencoba untuk menghiburku.
Sepertinya ia tau bagaimana perasaanku mengenai keberangkatannya ini.
“Ya… Hana… apa kau tidak mendengar apa yang aku katakan? Aku
paling tidak suka mengulang perkataanku untuk yang kedua kalinya…”
Aku pun masih terdiam. Tak sedikit pun aku mengalihkan
pandanganku ke arah Sinha. Aku pun membalikkan badanku dan mulai berjalan tanpa
mengucapkan sepatah kata kepada Sinha.
“Ya… Hana… kau kau kemana?” ucapnya
Aku hanya terdiam dan tetap berjalan pelan. Sinha yang tampak
terlihat bingung pun mengejarku dan memegang tanganku.
“Ya… Hana…”
Aku masih terdiam. Air mataku pun mulai membasahi pipiku. Saat
aku mencoba untuk berhenti menangis, saat itu pula air mataku tidak berhenti.
“Ya… Hana…” ucap Sinha lagi.
Ia pun memelukku dengan hangat.
“Aku mengerti bagaimana rasanya berada di posisimu. Tapi aku
harap kau bisa mengerti, Hana…” ucapnya.
Aku pun mencoba melepasakan pelukan Sinha.
“Maaf Sinha, aku tidak ingin bertemu denganmu lagi.” Ucapku
singkat.
Aku pun langsung pergi meninggalkan Sinha di bandara sendirian.
Ia pun hanya memandangi kepergianku. Betapa bodoh dan jahatnya diriku. Aku
telah melukai perasaan orang yang paling aku sayangi.
Sinha yang paham betul bangaimana perasaanku hanya bisa terdiam
melihat kepergianku. Ia pun membalikkan badannya dan menuju ke tempat semula.
Tak lama kemudian, pesawat Sinha pun terbang menuju ke Paris.
Aku hanya bisa memandanginya dari luar bandara. Semoga kau baik-baik saja di
sana Sinha dan maaf karena aku tidak membuat kau merasa bahagia di hari
keberangkatanmu.
***
5 tahun berlalu dengan begitu cepat. Selama itu pun aku dan Sinha
tidak saling berkomunikasi. Entah, apakah ia sudah lupa denganku? Apakah ia
sudah tidak ingin menghubungiku lagi?
Aku pun berhasil menjadi fashion designer. Dan kini aku tengah
berada di Paris untuk menjalankan bisnis fashionku. Sudah hampir satu bulan aku
berdiam di Paris. Karena besok aku harus kembali lagi ke Jepang, aku pun
memutuskan untuk berjalan-jalan berkeliling Paris hari ini.
Tak lupa aku juga mengunjungi Menara Eiffel. Dari atas menara
ini, aku dapat melihat keindahan kota Paris. Gemerlap lampu-lampu di perkotaan
menambah keindahan kota Paris.
Setelah puas melihat keindahan kota Paris, aku pun memutuskan
untuk mengunjungi butik-butik yang ada di sana. Butik yang aku kunjungi bernama
“Fashion in Heaven”. Aku melihat-lihat ke seluruh penjuru butik ini. Hingga
pada saat itu, pandanganku tertuju pada sebuah benda. Ya, gaun biru dengan
hiasan bunga dan kupu-kupu berwana kebiru-biruan.
“Bagaimana? Bukankan gaun ini sangat indah?”
“Ya, sangat indah…”
“Apakah kau berniat untuk membelinya? Gaun ini terlihat sangat
cocok denganmu…”
“Entahlah…”
Aku pun menengokkan kepalaku. Ia pun hanya tersenyum kecil
melihatku.
“Hay, Hana… Apa kabar?”
Aku hanya terdiam. Apakah ini benar-benar dia? Apakah ini
benar-benar Sinha?
“Ya… Hana!! Apa ada yang aneh?”
“A-apakah k-kau Sinha?”
“Apakah kau bercanda, Hana? Kau benar-benar tidak mengenaliku?”
“Benar kau Sinha?”
“Kau sungguh tak mengenaliku?”
Aku pun memeluk Sinha. Lagi-lagi aku menangis di pelukkannya.
“Sudah lama sekali kita tidak bertemu… Apakah kau baik-baik
saja? Apakah kau ingat kapan kau harus mengisi perutmu dengan makanan?” ucapku.
“Kau masih saja seperti dulu…”
Kami berdua pun melepas pelukan itu. Sinha dengan lembut
mengusap air mataku.
“Sudahlah, jangan menangis…”
“Kemana saja kau selama ini? Kenapa kau tidak pernah
mengabariku? Apakah kau tau seberapa khawatirnya diriku?” ucapku sambil
memukul-mukul Sinha. Sinha pun memelukku lagi…
“Maafkan aku Hana… Aku tidak bermaksud untuk tidak mengabarimu.
Aku hanya teringat dengan perkataanmu sewaktu di bandara…”
“Seharusnya aku yang meminta maaf padamu Sinha. Waktu itu aku
tidak bermaksud untuk melukai perasaanmu. Aku benar-benar menyesal…”
“Sudahlah, itu sudah lama sekali…”
***
“Apa? Besok kau akan kembali ke Jepang?” ucap Sinha yang
terlihat kaget
“Ya, bisa dibilang seperti itu…”
“Sayang sekali, padahal baru saja kita bertemu kembali…”
Aku pun hanya terdiam mendengar kata-kata dari mulut Sinha. Kami
pun terus berjalan menyusuri indahnya kota Paris. Sama seperti waktu itu, Sinha
berjalan di depanku. Tiba-tiba saja ia membalikkan badannya ke arahku. Saat itu
aku hampir terjatuh, tapi untung saja Sinha memegangku.
“Hana? Apa kau baik-baik saja? Kau terlihat sangat lelah…”
“Tidak, aku tidak apa-apa…”
“Apakah kau yakin?”
“Apa kau tidak mempercayaiku?”
***
Aku pun tersadar dari tidurku. Perlahan-lahan aku membuka
mataku. Aku melihat Sinha yang sedang duduk di samping tempat tidurku. Pertama
kalinya, aku melihatnya menangis seperti ini.
“A-aku ada di mana?”
“Hana… Syukurlah kau sudah siuman. Sekarang kau berada di rumah
sakit.”
“Apa sesuatu terjadi padaku?”
“Tadi hidungmu mengeluarkan darah dan kau pingsan. Apakah
belakangan ini kau bekerja terlalu keras?”
“Aku tidak ingin mengecewakan para pelangganku dan
lembaga-lembaga yang telah mengadakan kerja sama denganku…”
“Apakah kau tau, itu sangat membahayakan dirimu?!”
“Ada apa denganmu Sinha? Kenapa kau bersikap seperti ini?”
Sinha pun memelukku seraya tetap menangis. Tampaknya ia sangat
sedih melihatku berada dalam keadaan seperti ini.
“Aku tidak ingin kehilanganmu, Hana… Aku sangat menyayangimu… Tolong
jangan lakukan hal seperti ini lagi… Aku tidak bisa melihatmu berada dalam keadaan
seperti ini… Cepatlah sembuh Hana…”
“S-Sinha……”
“Berjanjilah padaku Hana bahwa kau akan tetap berada di
sampingku…”
Lagi, lagi dan lagi. Kata-kata Sinha berhasil membuatku menangis
untuk yang kesekian kalinya.
***
8 Juni 2011. Hari ini adalah jadwalku untuk kembali ke Jepang.
Baru kemarin aku dan Sinha bertemu, namun hari ini kami harus berpisah lagi.
Kali ini aku yang mendapat giliran menunggu Sinha di bandara. Tidak seperti aku
yang dulu pernah mengecewakannya di hari keberangkatannya ke Paris, hari ini ia
datang. Ia datang sekitar 30 menit sebelum keberangkatanku.
“Ya… Hana!!” teriaknya dengan senyum lebar di wajahnya.
“Rupanya kau sudah berada di sini Sinha…”
“Aku tidak ingin mengecewakanmu di hari keberangkatanmu ini, Hana…”
“Terimakasih Sinha… Emm, untuk apa kau membawa koper?”
“Aku ingin pergi bersamamu, Hana…”
“Bo? Apa kau sudah gila Sinha?!”
“Apa kau tidak menginkannya? Baiklah, aku akan pergi…”
Ia pun membalikkan badannya dan berjalan dengan perlahan ke luar
bandara.
“Tidak, bukan itu maksudku, Sinha…” teriakku.
“Aku mengerti Hana, aku bisa menerimanya…”
Aku pun mengejar Sinha dan memegang tangannya.
“Bukan itu maksudku Sinha… Aku mohon, jangan marah…”
Untuk kesekian kalinya, Sinha membalukkan badannya dan
memelukku.
“Maafkan aku Sinha… Aku tidak bermaksud untuk mengecewakanmu
lagi… Maafkan aku Sinha… Maafkan aku…”
“Kau ini bicara apa, Hana? Aku tidak marah denganmu…”
“Maafkan aku, Sinha… Maafkan aku…”
“Harus berapa kali kah aku mengatakannya padamu. Aku tidak marah
denganmu, Hana. Hmm, jadi apakah aku boleh pergi bersamamu?”
“Aku tidak bisa mencegahmu lagi…”
***
“Apakah hari ini kau sibuk, Hana? Jika tidak, aku
ingin mengajakmu berjalan-jalan. Apakah kau mau? Sudah lama sekali kau tidak
mengabariku…”
Seseorang baru saja mengatakan sesuatu di telingaku. Apakah itu
dari Sinha? Apakah benar itu pesan dari Sinha?dalam hati, aku hanya bisa
meminta maaf kepada Sinha. Maaf karena aku mengecewakanmu lagi…
“Konnichiwa…”
“Konnichiwa…”
“Ya, Hana… Mengapa kau baru mengangkat teleponku? Kemana saja
kau selama ini? Apakah kau tau? Aku sangat mengkhawatirkanmu… Bagaimana? Apakah
kau sudah membaca smsku? Bisakah kau datang? Hmmm?”
“Maaf, ini bukan Hana. Aku Rian, sahabat Hana…”
“Ohh, maaf… hmm, mengapa handphone Hana bisa ada di tanganmu?
Apakah sesuatu terjadi pada Hana?”
“T-tidak… Ha-Hana… Hana baik-baik saja… Kau tidak usah
khawatir…”
“Apakah kau yakin Hana baik-baik saja? Tolong jawab dengan jujur
pertanyaanku Rian… Apakah sesuatu telah terjadi pada Hana?”
“Maaf Sinha, aku sedang sibuk… Kau bisa menelepon Hana lain
kali…”
Rian pun langsung menutup telepon dari Sinha. Ia pun menjadi
sedikit cemas. Di satu sisi, ia paling tidak bisa berbohong. Namun, ia juga
tidak mau mengingkari janjinya yang telah dibuatnya.
“Aku minta maaf Sinha. Aku terpaksa melakukan ini. Dan aku juga
tidak ingin mengecewakanmu, Hana.” Ucapnya sambil mengelus kepalaku.
Sayangnya aku tidak bisa membalas kata-katanya itu. Aku hanya
bisa terbaring tak berdaya di atas balutan kasur putih ini. Hanya bisa menunggu
sebuah keajaiban yang datang padaku.
“Cepatlah sadar, Hana. Aku rindu dengan canda tawamu sewaktu
dahulu… Aku ingin bisa bermain dan menghabiskan hari-hariku bersamamu, Hana…
Tolonglah Hana… Tolong… Cepatlah sadar…” ucap Rian sambil menangis.
Setelah meneleponku, Sinha menjadi sangat khawatir dan cemas. Ia
berpikir apakah aku mengalami kecelakaan. Ia pun mencoba untuk tetap berpikir
positif.
“Hana itu perempuan yang sangat baik dan kuat. Tidak mungkin ia
akan mengalami kecelakaan.”
Namun, pikiran burukpun selalu membayanginya. Keesokan harinya, Ia
pun berusaha mengunjungi seluruh rumah sakit yang ada di sana. Satu persatu
rumah sakit ia kunjungi, namun tidak satu pun rumah sakit yang memiliki pasien
yang bernama Hana. Hingga akhirnya, ia berhenti di depan sebuah rumah sakit di
kota Tokyo. Ia pun memasuki rumah sakit tersebut. Ia terus saja berharap agar
rumah sakit ini adalah rumah sakit yang ia cari-cari.
Ia pun memasuki rumah sakit tersebut dan segera menuju tempat
administrasi. Di sana, ia menanyakan pada seorang petugas dan hasilnya rumah
sakit ini memiliki seorang pasien yang bernama Hana. Petugas itu pun memberikan
nomor kamarku.
Raut kebahagian pun terlihat di wajah Sinha. Ia segera menuju ke
ruangan tempat aku dirawat. Ia berlari menyusuri jalanan di dalam rumah sakit
tersebut. Selang 5 menit kemudian ia sampai di depan kamarku. Ya, kamar 468.
Ia pun membuka pintu kamarku. perlahan ia melangkahkan kakinya
ke dalam kamarku. Sepertinya ia terlihat kaget saat melihat aku terbaring
lemah. Ia pun terus berjalalan mendekatiku. Air matanya pun seketika terjatuh.
Rian yang pada saat itu berada di samping tempat tidurku terlihat sangat
terkejut.
“Si-Sinha? Ba-bagaimana kau bisa berada di sini?” ucap Rian
terkejut.
Sinha yang terlihat shock tak memperdulikan perkataan Rian. Ia
tetap saja memandangi ke arahku.
“Ha-Hana…”
Ia pun mengelus rambutku dan kemudian memegang tanganku. Ia
masih saja menangisiku…
“Ha-Hana… Bangunlah… Aku Sinha… Bangunlah Hana, bangun… Aku
mohon…”
Rian yang nampaknya mengerti bagaimana perasaan Sinha, mencoba
untuk menenangkannya.
“Sudahlah Sinha, biarkan Hana beristirahat… Ia tidak akan
semudah itu menyerah… Kita doakan yang terbaik saja untuk Hana…” ucap Rian.
“Hana… Bangunlah… Apakah kau tidak senang jika aku berada di
sini? Bagunlah Hana… Aku mohon bangun Hana…”
***
“Mengapa kau tidak langsung memberi tahukanku, Rian?!”
“Maafkan aku Sinha, ini adalah permintaan Hana. Saat kejadian
itu, ia memintaku agar aku tidak memberitahukannya pada orang lain, terutama
padamu. Aku tidak ingin mengecewakan Hana, oleh sebab itu aku tidak
memberitahukannya padamu…”
“Apa alasannya ia tidak mau memberitahukanku? Apakah ia sudah
tidak menganggapku lagi?”
“Sabarlah Sinha… Aku yakin Hana memiliki alasannya tersendiri
untuk tidak memberitahukanmu… Lebih baik kita berdoa saja agar Hana bisa cepat
sadar dan cepat pulih…”
Semenjak Sinha mengatahui bagaimana keadaanku sekarang, ia
menjadi rajin menjengukku. Hampir setiap hari ia menyempatkan dirinya hanya
untuk sekedar menjengukku. Ia juga selalu membawa mawar berwarna putih dan biru
setiap kali ia menjengukku.
“Mengapa kau rajin sekali membawa bunga mawar ini?” tanay Rian
penasaran.
“Ini bunga favorit Hana. Dulu, Hana sempat mengatakan bahwa ia
sangat senang dengan bunga mawar ini. Semoga saja bunga mawar ini bisa membaut
Hana menjadi cepat pulih…”
“Hana…!!” teriak Rian
Baru saja ia melihatku menggerakkan tanganku. Ia pun segera
memanggil dokter. Perlahan aku mulai membuka mataku. Rasa pusing pun sempat ku
rasakan. Aku terlihat kebingungan.
“Aku ada dimana?”
“Syukurlah Hana… Akhirnya kau sadar…” ucap Rian.
Dokter pun datang dan memeriksaku. Dokter tersebut juga sempat
meronsen kepalaku. Setelah selesai diperiksa, aku pun dibawa lagi ke kamar
semula.
“Kenapa aku bisa berada di sini?” tanyaku kebingungan
“Apakah kau tidak mengingatnya, Hana?”
“Memang aku kenapa?”
“Astaga, apa kau benar-benar tidak mengingatnya? Beberapa waktu
yang lalu kau mengalami kecelakaan.”
“Kecelakaan?”
“Ya, Hana… Kau jangan bercanda. Ini sungguh tidak lucu…”
“Aku benar-benar tidak mengingatnya…”
“Syukurlah Hana, kau sudah sadar…” ucap Sinha mencoba menahan
air matanya
“Kau siapa? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Dan mengapa kau
menangis?”
“Apakah kau bercanda? Kau benar-benar tidak mengingatku? Aku
Sinha…”
“Ya, Hana! Dia ini Sinha! Dia ini kekasihmu! Apakah kau tidak mengenalinya?!”
ucap Rian dengan nada sedikit tinggi.
“Maaf, aku tidak mengenalmu…”
“Ya, Hana?! Jika kau tidak mengingat Sinha, apakah kau juga
tidak mengingatku?”
“Kau Rian, kan? Mana mungkin aku melupakanmu…” jawabku singkat.
Sinha pun mencoba untuk tetap mengerti. Tak lama setelah kami
berbicara, dokter pun datang memanggil Shina dan Rian. Mereka berdua pun pergi
menuju ke ruangan dokter tersebut.
“Sepertinya Hana mengalami amnesia ringan. Tapi jangan khawatir,
amnesia ini hanya akan berlangsung selama 1-2 hari. Jadi kalian tidak usah
khawatir…” ucap dokter itu meyakinkan mereka berdua.
“Baiklah, Dok. Tapi mengapa ia hanya mengingat Rian, Dok? Dan ia
hanya lupa dengan saya, kekasihnya sendiri.”
“Kemungkinan saja, ia terlalu memikirkan anda. Biasanya, orang
yang paling dipikirkannya akan menjadi orang pertama yang tidak ia kenali. Jadi
Sinha, bersabarlah…”
***
Semenjak kejadian itu, Sinha dan Rian semakin rajin menjengukku.
Mereka berdua berusaha untuk membuatku teringat lagi dengan Sinha. Mereka pun
makin sering mengajakku berjalan-jalan ke luar.
“Hana, apakah kau ingat tempat ini?” tanya Sinha
“Apakah sebelumnya kita pernah ke sini?” tanyaku
“Dulu, setiap kali ada festifal, kita berdua sering mengunjungi
tempat ini. Entah hanya untuk sekedar menghilangkan stress ataupun
berjalan-jalan biasa. Dan biasanya kau selalu saja membeli es krim di stand itu…”
“Entahlah, aku benar-benar tidak mengingatnya…”
Tiba-tiba saja aku merasakan sakit di kepalaku. Aku mulai ingat
dengan tempat-tempat ini. Tapi aku belum bisa mengingatnya dengan jelas.
“Kau kenapa, Hana?” tanya Sinha
“Tidak, tidak apa-apa… hanya saja kepalaku sedikit sakit…
bisakah kalian mengantarkanku kembali ke kamarku?”
Bukannya kembali, mereka malah mengajakku ke tempat-tempat lainnya.
Kali ini mereka membawaku ke sebuah taman.
“Nah, apakah kau juga lupa dengan tempat ini?”
“Sudah berapa kali aku mengatakannya… tolong bawa aku kembali ke
kamarku… aku mohon Sinha…”
“Apakah kau yakin tidak mengingat tempat ini? Apakah kau
benar-benar melupakannya? Kita sering mengunjungi tempat ini, Hana. Terakhir kali
kita datang ke taman ini saat ulang tahunmu yang ke-18. Kau sungguh tidak
mengingatnya?”
Lagi lagi aku mengalami sakit kepala yang sama seperti
sebelumnya. Kali ini ingatan tersebut terlihat makin jelas. Aku mulai bisa
mengingat tempat-tempat ini. Tapi aku masih tidak bisa mengingat Sinha.
“Tolong Sinha, tolong bawa aku kembali ke kamarku. Aku ingin
beristirahat…” ucapku sambil memegang tangannya.
“Ayolah Sinha, mengertilah perasaan Hana…” ucap Rian
“Baiklah jika memang itu yang kau mau… Maaf karena aku telah
bersikap egois padamu…”
Kami bertiga pun kembali menuju ke rumah sakit.
Malam harinya, aku masih tidak bisa tidur. Sinha yang pada saat
itu masih setia menungguku telah tertidur di samping tempat tidurku. Aku pun
mencoba untuk duduk. Saat aku menyenderkan punggungku, Sinha memegang tanganku
dengan erat. Aku menjadi terkejut. Untung saja ia tidak terbangun.
Melihat wajahnya yang terlihat sangat lelah membuatku merasa
kasihan. Sudah seharian ini ia berusaha membuatku agar teringat dengan dirinya
dan semua kenangan-kenangan kami dahulu. Aku pun mengelus kepalanya. Tiba-tiba
saja kepalaku menjadi terasa sangat sakit. Suara ku yang terdengar sangat
merintih, membuat Sinha bangun dari tidurnya.
“Ya… Hana… Apa kau baik-baik saja?”
“Kepalaku…”
Aku mulai bisa mengingat semua kenanganku terdahulu. Aku juga
mulai bisa mengingat Sinha.
“Apakah kau sudah merasa baikan, Hana?”
Aku hanya menganggukkan kepalaku.
Dan sekarang aku ingat…………
***
17 Desember 2011. Akhirnya hari ini aku diperbolehkan untuk
meninggalkan rumah sakit. Aku pun sudah merasa cukup pulih. Sinha dan Rian sibu
membereskan semua barang-barangku. Tak satupun dari mereka yang mengijinkanku
untuk membantu mereka.
Aku berdiri di depan kaca jendela kamarku. Dari sini aku bisa
melihat bagaimana keindahan kota Tokyo. Tiba-tiba saja Sinha datang dan
memelukku dari belakang.
“Akhirnya kau diperolehkan untuk pulang juga…”
“Aku mengingatnya………”
Sinha pun terkejut mendengar ucapanku.
“Apa kau bilang?”
“Aku mengingatnya………”
“Jadi, Hana… Apa kau………”
“Ya Sinha, aku mengingatmu. Aku ingat siapa dirimu……”
Sinha pun memelukku dengan erat.
“Terimakasih, Hana… Terimakasih… Akhirnya kau mengingatku…”
Aku hanya tersenyum kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar